Kamis, 03 Oktober 2019

Ganoderma : “Momok Menakutkan” Planter Kelapa Sawit


Ganoderma : “Momok Menakutkan” Planter Kelapa Sawit




Ganoderma adalah cendawan patogenik tular tanah (soil borne) yang banyak ditemukan di hutan-hutan primer dan menyerang berbagai jenis tanaman hutan. Cendawan ini dapat bertahan di dalam tanah dalam jangka waktu yang lama. Sesungguhnya Ganoderma tergolong pada kelompok cendawan yang lemah. Serangan pada kelapa sawit menjadi dominan karena terjadi ketidakseimbangan agroekosistem di perkebunan kelapa sawit dan tidak adanya cendawan kompetitor dalam tanah, akibat menurunnya unsur hara organik dalam tanah dan aplikasi herbisida yang tidak bijaksana.
Awalnya, penyakit Ganoderma diduga menyerang tanaman menghasilkan saja dan secara ekonomi tidak berbahaya, dengan kejadian penyakit masih <1%. Namun beberapa tahun terakhir ini Ganoderma telah menjadi satu masalah yang paling serius terutama pada satu atau lebih dari 2 generasi tanam. Kejadian Ganoderma berkorelasi positif dengan generasi kebun kelapa sawit. Saat ini Ganoderma sudah bisa ditemukan hampir di semua kebun kelapa sawit di Indonesia walau kejadian penyakitnya bervariasi. Perkembangan cepat penyakit ini tidak hanya di lahan mineral tetapi juga di lahan gambut. Pada tanah yang miskin unsur hara di laporkan kejadian penyakit Ganoderma lebih besar.
Di beberapa kebun di Indonesia, Ganoderma telah menyebabkan kematian kelapa sawit hingga 80% atau lebih populasi kelapa sawit dan hal tersebut menyebabkan penurunan produk kelapa sawit persatuan luas (Susanto, et al, 2002).
GEJALA DAN TANDA PENYAKIT

Gejala awal penyakit sulit dideteksi karena gejala eksternal perkembangannya yang lambat . Pada tanaman kelapa sawit muda (TBM), gejala penyakit busuk pangkal batang (BPB) yang dapat diamati dari luar adalah adanya daun yang menguning pada satu sisi, atau adanya bintik-bintik kuning dari daun yang lebih pendek, yang kemudian diikuti dengan nekrosis (Singh, 1991). Pada daun yang baru membuka nampak lebih pendek dibandingkan daun normal lalu mengalami klorosis dan bahkan mengalami nekrosis. Seiring penyakit ini terus berkembang, tanaman kelapa sawit nampak pucat keseluruhan, pertumbuhan lambat dan daun tombak yang tersisa tidak membuka.
Gejala serupa juga dapat dilihat pada tanaman menghasilkan (TM) , terdapat beberapa daun tombak tidak terbuka dan kanopi daun umumnya pucat. Daun yang terserang kemudian mati dimana nekrosis dimulai pada daun yang paling tua dan merambat meluas ke atas ke arah mahkota daun. Tanaman kemudian mati dimana daun kering terkulai pada ujung pelepah pada batang atau patah tulang di beberapa titik sepanjang malai, dan menggantung ke bawah seperti “rok wanita”. Umumnya apabila gejala pada daun terus diamati biasanya akan ditemukan bahwa setidaknya satu setengah bagian jaringan batang bawah telah mati diserang cendawan. Apabila tanaman belum menghasilkan terinfeksi, biasanya akan mengalami kematian dalam kurun waktu 6-24 bulan sejak munculnya gejala pertama, sedangkan pada tanaman kelapa sawit menghasilkan kematian terjadi antara 2-3 tahun kemudian setelah infeksi.
EPIDEMI PENYAKIT BUSUK PANGKAL BATANG
Cendawan Ganoderma bersifat patogenik pada kelapa sawit dan mempunyai kisaran inang yang luas seperti kelapa, karet, teh, kakao, tanaman hutan (Acacia, Populus dan madacadamia).
Penularan penyakit BPB terjadi melalui kontak akar tanaman sehat dengan sumber inokulum yang dapat berupa akar dan batang sakit. Akar tanaman kelapa sawit muda, tertarik kepada tunggul yang membusuk yang mengandung banyak hara dan kelembaban tinggi. Agar dapat menginfeksi akar tanaman sehat, cendawan harus mempunyai bekal makanan (food base) yang cukup (Semangun 2000). Kejadian penyakit BPB pada kelapa sawit meningkat pada kebun yang sebelumnya atau ditanam bersamaan dengan kelapa, terutama pada kebun yang terdapat sisa-sisa tunggul kelapa yang terbenam di dalam tanah. Ganoderma menginfeksi tanaman lebih awal 12 hingga 24 bulan pada tanaman kelapa sawit berumur 4 hingga 5 tahun yang ditanam bersamaan dengan tanaman kelapa.
Ganoderma dapat hidup pada tunggul kayu karet dan kakao. Kebun yang banyak mempunyai tunggul karet, kelapa sawit, kelapa atau tanaman hutan lain akan cenderung mempunyai kejadian penyakit yang tinggi. Tunggul-tunggul yang dibiarkan akan berpotensi sebagai sumber inokulum Ganodema. Oleh karena itu disarankan melakukan eradikasi sisa-sisa tanaman yang terinfeksi Ganoderma.
Pada tanaman yang terinfeksi akan muncul tubuh buah yang menghasilkan basidiospora sebagai sumber epidomologi penyakit. Basidiospora disebarkan oleh bantuan angin, serangga vektor, dan kumbang Oryctes rhinoceros yang larvanya banyak ditemukan pada batang kelapa sawit yang sudah membusuk. Hasil evaluasi bersama tim Bioteknologi
Bogor, serangga vektor penularan Ganoderma yang ditemukan di daerah Sulawesi Barat dan Tengah teridentifikasi: Eumorphus spp. (Endomychidae, Coleoptera). Serangga vektor tersebut menjadi agen penyebaran ganoderma dari tanaman terinfeksi ke tanaman sehat sehingga serangan ganoderma tidak hanya terjadi pada pangkal batang (basal stem rot) saja namun juga pada batang atas (upper stem rot).
TEKNIK DETEKSI DINI GANODERMA

Untuk memantau keberadaan pokok yang terserang Ganoderma maka perlu dilakukan diagnosa. Diagnosa yang umum dilakukan adalah dengan mengamati gejala visual (eksternal) untuk mengetahui infeksi penyakit. Pengamatan ini berdasarkan gejala visual penampakan daun tombak yang ganda dan tanda adanya badan buah Ganoderma pada pangkal batang kelapa sawit. Deteksi secara visual yang saat ini masih banyak dilakukan untuk mengetahui tingkat serangan ganoderma dengan mengelompokkan level serangan berdasarkan klasifikasi. Pemantauan bisa dilakukan melalui citra satelit untuk mendapatkan informasi banyaknya tanaman yang mati akibat Ganoderma. Sensus terhadap point Ganoderma terinfeksi dapat menggunakan analysis Spatial Autocorrelation and Near analysis dari program software ArcGIS.
Deteksi dini Ganoderma telah mengalami perkembangan dari visual sampai dengan teknik-teknik tertentu seperti deteksi dini menggunakan Gano-kit (perangkat berbasis serologi) yang dikembangkan oleh Suharyanto (Bioteknologi Perkebunan Indonesia). Di Malaysia, Ariffin dan Idris (1991) telah mengembangkan teknik GSM yaitu media selektif Ganoderma dimana teknik ini secara selektif dapat mengisolasi patogen Ganoderma dari setiap jaringan Imtanaman yang terinfeksi secara langsung dapat dilakukan di lapangan baik melalui sterilisasi maupun tanpa sterilisasi. Deteksi dini secara molekuler melalui amplifikasi gen pada bagian organ tanaman (marka gen) yang diteliti oleh BPPT dan PT. Astra Agro Lestari Tbk. Deteksi dini dengan penggunaan spectroradiometer baru-baru ini juga diteliti oleh Malaysian Palm Oil Board untuk mendeteksi Ganoderma.
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN GANODERMA
Meninjau bahwa setiap sumber daya genetik mempunyai ketahanan yang berbeda-beda terhadap ganoderma dan tidak ada kelapa sawit yang resisten dan imun terhadap Ganoderma, maka alternatif usaha pencegahan dan pengendalian sebaiknya dilakukan secara terpadu : dengan menggunakan bahan tanaman parsial toleran Ganoderma, pengendalian secara kultur teknis melalui persiapan lahan saat replanting, hayati dan pengendalian kimiawi yang bersifat memperpanjang umur tanaman.
Karena itu alternatif pengendalian terbaik adalah dengan mempersiapkan bahan tanaman yang toleran, didukung pengendalian secara kultur teknis dan hayati. Pengendalian
Ganoderma dibagi menjadi dua pendekatan yaitu pendekatan jangka pendek dan jangka panjang. Pengendalian jangka pendek bertujuan untuk mengurangi laju infeksi penyakit melalui kegiatan kultur teknis (sanitasi) dan hayati. Sedangkan dalam jangka panjang penggunaan bahan tanaman yang parsial toleran Ganoderma melalui serangkaian penelitian. Saat ini sudah ada perusahaan perkebunan kelapa sawit yang sudah memproduksi bahan tanaman (KKS) parsial toleran Ganoderma.
Menurut Dr.Darmono Tani Wiryono, Pakar Ganoderma Biotek Perkebunan, sesungguhnya yang “sakit” adalah lahan pertanaman sehingga meskipun bibit kelapa sawit yang ditanam bebas dari inokulum Ganoderma namun bila ditanam pada areal yang sudah terinfeksi Ganoderma dalam kualitas dan kuantitas yang tinggi maka tanaman tersebut akan terserang juga. Sementara itu berdasarkan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan Prof. Meity S. Sinaga, Guru Besar Fitophatologist IPB, strategi pengendalian penyakit BPB Ganoderma yang paling menjanjikan yaitu dengan menerapkan pengendalian terpadu yang merupakan kombinasi dari pengendalian hayati, pembuatan parit isolasi tanaman terinfeksi, pemusnahan sumber inokulum.
Sanitasi tanaman terinfeksi dilakukan melalui pemusnahan inokulum dengan cara membongkar tanah memusnahkan tunggul-tunggul, bole dan akar tanaman terinfeksi serta membakarnya. Melakukan chiping dengan ketebalan 10 cm pada saat replanting. Pembuatan parit isolasi untuk tanaman yang terinfeksi pada populasi infeksi masih rendah.
Bahan Tanaman Toleran, ada indikasi bahwa bahan tanaman varietas dura menunjukkan gejala yang lebih lambat daripada bahan tanaman varietas tenera. Bahan tanaman yang parsial toleran ganoderma sudah ada yang diproduksi disalah satu breeder perkebunan di Indonesia.
Pengendalian Hayati lebih bersifat sebagai tindakan preventif dalam menekan laju infeksi Ganoderma. Perlakuan pada awal pembibitan kelapa sawit dengan cendawan antagonis (Trichoderma spp. dan Gliocladium spp.) serta Mikoriza, untuk meningkatkan pertahanan tanaman terhadap serangan penyakit BPB pada pembibitan kelapa sawit, ke dalam polibag diitambahkan 15-30 gram cendawan antagonis. Pada saat bibit dipindahkan ke lapangan, ke dalam lubang tanam ditambahkan cendawan Trichoderma spp. sebanyak 75–150 gram. Cendawan seperti Gliocladium sp, Trichoderma spp. ( T. viridae, T.hamatum, T. harzianum, T. koningii dan T. polysporum) dilaporkan dapat menekan
Ganoderma melalui kemampuan mikoparasit dan persaingannya yang kuat dengan patogen (Cook and Baker, 1989) dengan memanfaatkan Trichoderma spp. sebagai organisme yang mempunyai kemampuan antagonistik dalam mengendalikan penyakit tanaman. Trichoderma spp. merupakan cendawan yang sangat umum dijumpai dalam tanah dan merupakan jamur yang bersifat antagonistik terhadap cendawan lain (Chet, 1987). Saat ini cendawan Trichoderma spp sudah banyak diproduksi massal dan mudah didapatkan.
Cendawan endophytic Hendersonia yang dinamakan Hendersonia GanoEF1, Amphinema GanoEF2 dan Phebia ganoEF3 (dilaporkan Nurrashyeda et al, 2011 dalam Shamala Sundram et al 2013) berpotensi mengurangi kejadian penyakit di pembibitan. Ketiga jenis cendawan endophytic tersebut telah diformulasi secara komersial di Malaysia.
Pengendalian kimiawi lebih bersifat untuk memperpanjang umur tanaman yang nantinya akan mengalami kematian juga. Dari hasil penelitian fungisida berbahan aktif hexaconazole biasa digunakan dengan menginjeksikan ke dalam batang tanaman.
REFERENSI BUKU
  • Chet,I (Ed.), 1987. Innovative Approaches to Plant Diseases Control. John Wiley and Sons, A Wiley-Interscience Publication, USA. pp. 11-210.
  • Cook, R. J. and K. F. Baker, 1989. The Nature on Practice of Biological Control of Plant Pathogens. ABS press, The American Phytopathological Society, St. Paul, Minesota 539p.
  • Idris, A.S, Arifin, D., Watt ,T.A, & Swinburne, T.R. 2001. Distribution of species of Ganoderma Basal Stem rot of oil palm in relation to the environmental conditions in Peninsular Malaysia. Proc. PIPOC 2001
  • Probo Rahadianto, 2013. Geographic Information system Application on Ganoderma Research. Proc 5th MPOB-IOPRI 2013. 
  • Semangun, H. 1990. Penyakit-penyakit tanaman perkebunan di Indonesia. Gadjah Mada University Press.Yogyakarta.808p. 
  • Shamala Sundram, Idris Abu Seman, Nur Rasyeda Ramli and Shariffah Muzaimah Syed Aripin, 2013. Exploring the Potentials of Biological Control Agents againts Ganoderma Basal Stem Rot Disease. Proc 5th MPOB-IOPRI 2013. 178p. 
  • Susanto, A. 2002. Kajian pengendalian hayati Ganoderma boninense Pat. penyebab penyakit busuk pangkal batang kelapa sawit. Disertasi IPB, Bogor


Trichoderma Sp. merupakan organisme….


Trichoderma Sp. merupakan organisme….


Trichoderma sp. adalah jamur saprofit tanah yang secara alami merupakan parasit yang menyerang banyak jenis jamur penyebab penyakit tanaman (spektrum pengendalian luas). Jamur Trichoderma sp. dapat menjadi hiperparasit pada beberapa jenis jamur penyebab penyakit tanaman, pertumbuhannya sangat cepat dan tidak menjadi penyakit untuk tanaman tingkat tinggi. Mekanisme antagonis yang dilakukan adalah berupa persaingan hidup, parasitisme, antibiosis dan lisis (Harman et al., 2004).

Populasi Trichoderma sp. dapat tumbuh baik pada kisaran suhu rata-rata 17°C-34°C kemampuan pengendalian hayati dari cendawan ini akan semakin berkurang seiring dengan naiknya suhu tanah (Eland,et.al., 1997 dalam efri,1994). Cendawan Trichoderma sp. menghendaki kelembaban yang tinggi serta tersedianya bahan makanan dasar yang sesuai dengan pertumbuhan Trichoderma sp. (Chet dan Baker 1981 dalam Talanca 1998).

Menurut Djatmiko dan Rohadi ( 1997 ) cendawan Trichoderma sp. dapat tumbuh baik pada pH yang rendah. Cendawan ini akan terhambat pertumbuhannya pada kondisi tanah pada pH diatas sekitar diatas 5,4 ( Baker dan Cook,1997 ), lebih lanjut dikemukakan bahwa cendawan ini lebih berhasil kemampuannya dalam menekan cendawan patogen pada kondisi tanah yang masam dari pada tanah alkalis.

Pengendalian biologi (hayati) menunjukkan alternatif pengedalian yang dapat dilakukan tanpa harus memberikan pengaruh negatif terhadap lingkungan dan sekitarnya, salah satunya adalah dengan pemanfaatan agens hayati seperti virus, jamur atau cendawan, bakteri atau aktiomisetes. Jamur Trichoderma sp. bersifat antagonistik, terhadap jamur lain dalam mengendalikan penyakit tanaman yang mampu menghambat perkembangan patogen melalui proses mikroparasitisme, antibiosis, dan kompetisi (Chet, 1987).

Trichoderma sp. diklasifikasikan dalam Kingdom Plantae, Devisio Amastigomycota, Class Deutromycetes, Ordo Moniliales, Famili Moniliaceae, Genus Trichoderma, Spesies Trichoderma sp. Cendawan Trichoderma terdapat lima jenis yang mempuyai kemampuan untuk mengendalikan beberapa patogen yaitu Trichorderma harzianum, Trichorderma koningii, Trichorderma viride, Trichoderma hamatum dan Trichoderma polysporum. Jenis yang banyak dikembangkan di Indonesia antara lain Trichorderma harzianum, Trichorderma koningii, Trichoderma viride (Baharia. S., 2000).



Bentuk sempurna dari fungi ini secara umum dikenal sebagai Hipocreales atau kadang-kadang Eurotiales, Clacipitales dan Spheriales. Spesies dalam satu kelompok yang sama dari Trichoderma dapat menunjukkan spesies yang berbeda pada Hypocrea sebagai anamorf. Hal ini dimungkinkan karena terdapat banyak perbedaan bentuk seksual dari Trichoderma (Chet, 1987).

Trichoderma sp. memiliki konidiofor bercabang cabang teratur, tidak membentuk berkas, konidium jorong, bersel satu, dalam kelompok-kelompok kecil terminal, kelompok konidium berwarna hijau biru. Trichoderma sp. juga berbentuk oval, dan memiliki sterigma atau phialid tunggal dan berkelompok (Nurhaedah,2002).

Koloni jamur Trichoderma sp. pada media biakan PDA tumbuh dengan cepat pada suhu 25°Trichoderma sp.C-300C. Jamur ini awalnya terlihat berwarna putih selanjutnya miselium akan berubah menjadi kehijau-hijauan lalu terlihat sebagian besar berwarna hijau ada ditengah koloni dikelilingi miselium yang masih berwarna putih dan pada akhirnya seluruh medium akan berwarna hijau sedangkan bagian bawahnya tidak berwarna (Nurhayati, 2001).

Mekanisme Antagonis Trichoderma sp. yang telah banyak diuji coba untuk mengendalikan penyakit tanaman Sifat antagonis Cendawan Trichoderma sp. telah diteliti sejak lama. Inokulasi Trichoderma sp. ke dalam tanah dapat menekan serangan penyakit layu yang menyerang di persemaian, hal ini disebabkan oleh adanya pengaruh toksin yang dihasilkan cendawan ini. Selain itu Trichoderma sp. mempunyai kemampuan berkompetisi dengan patogen tanah terutama dalam mendapatkan Nitrogen dan Karbon (Lilik,et.al., 2010).

Pengendalian patogen tanaman yang bersifat tular tanah dengan menggunakan cendawan Trichoderma sp. dapat terjadi melalui mikoparasit (memarasit miselium cendawan lain dengan menembus dinding sel dan masuk kedalam sel untuk mengambil zat makanan dari dalam sel sehingga cendawan akan mati). Trichoderma sp.menghasilkan antibiotik seperti alametichin, paracelsin, trichotoxin yang dapat menghancurkan sel cendawan melalui pengrusakan terhadap permeabilitas membran sel, dan enzim chitinase, laminarinase yang dapat menyebabkan lisis dinding sel. Mempunyai kemampuan berkompetisi memperebutkan tempat hidup dan sumber makanan. Mempunyai kemampuan melakukan interfensi hifa. Hifa Trichoderma sp.akan mengakibatkan perubahan permeabilitas dinding sel. Trichoderma sp. adalah jenis cendawan yang tersebar luas di tanah, dan mempunyai sifat mikoparasitik (Gultom, 2008).

Mikoparasitik adalah kemampuan untuk menjadi parasit cendawan lain. Sifat inilah yang dimanfaatkan sebagai biokontrol terhadap jenis-jenis cendawan fitopatogen. Beberapa cendawan fitopatogen penting yang dapat dikendalikan oleh Trichoderma sp.antara lain: Rhizoctonia solani, Fusarium spp, Lentinus lepidus, Phytium spp,Botrytiscinerea, Gloeosporium gloeosporoides, Rigidoporus lignosus danSclerotiumroflsii yang menyerang tanaman jagung, kedelai, kentang, tomat, dan kacang buncis, kubis, cucumber, kapas, kacang tanah, pohon buah- buahan, semak dan tanaman hias (Tandion, 2008).
2.3    Potensi Trichoderma sp.
Potensi Jamur Trichoderma sp. sebagai jamur antagonis yang bersifat preventif terhadap serangan penyakit tanaman telah menjadikan jamur tersebut semakin luas digunakan oleh petani dalam usaha pengendalian organisme penggangu tumbuhan. Disamping karakternya sebagai antagonis diketahui pula bahwa Trichoderma sp. juga berfungsi sebagai dekomposer dalam pembuatan pupuk organik. Aplikasi jamur Trichoderma sp. pada pembibitan tanaman guna mengantisipasi serangan OPT sedini mungkin membuktikan bahwa tingkat kesadaran petani akan arti penting perlindungan preventif perlahan telah tumbuh.
Kemampuan Trichoderma sp. sebagai cendawan antagonis ditentukan oleh laju pertumbuhan yang cepat dan tingkat populasi yang tinggi. Djatmiko dan Rohadi (1997), mengemukakan bahwa Trichoderma sp. termasuk cendawan penghuni tanah yang dapat hidup disegala tempat, mudah diperoleh, cepat berkembang biak, tempat hidupnya disekitar perakaran sehingga ia mempunyai kemampuan yang baik sebagai pengendalian hayati patogen terbawa tanah terutama penyakit-penyakit yang menyerang akar.
Penggunaan agensi hayati untuk pengendalian penyakit tumbuhan adalah upaya untuk mengurangi kemampuan bertahan suatu patogen, menghambat pertumbuhan, penyebaran, mengurangi infeksi dan beratnya serangan patogen pada tanaman inang. Selain itu, diharapkan dapat menggantikan peran pestisida kimia dan mengurangi biaya penanggulangan. Oleh karena itu perlu adanya upaya pengembangan jamur Trichodermasp. ke depan yaitu dengan pembuatan media organik beras dan jagung yang ditujukan untuk menciptakan produk agen hayati yang efektif untuk mengendalikan penyakit tanaman.
2.4    Pengendalian Hayati Trichoderma Sp.

Agens hayati menurut FAO (1997) yaitu organisme yang dapat berkembang biak sendiri seperti parasitoid, predator, parasit, arthropoda pemakan tumbuhan, dan patogen. Agens hayati yang digunakan untuk mengendalikan penyakit disebut agens antagonis, pemanfaatan agens hayati dalam menekan perkembangan penyakit terus dikembangkan dan dimasyaratkan ke petani (Lilik,et.al., 2010).

Salah satu metode pengendalian penyakit tanaman dengan menggunakan mikroorganisme antagonis yang sekarang banyak dikembangkan yaitu dengan menggunakan cendawan atau bakteri nonparasit (Djatmiko dan Rohadi, 1997). Penggunaan cendawan antagonis sebagai pengendali patogen merupakan salah satu alternatif yang dianggap aman dan dapat memberikan hasil yang cukup memuaskan. Pengendalian hayati terhadap patogen dengan menggunakan mikroorganisme antagonis dalam tanah memiliki harapan yang baik untuk dikembangkan karena pengaruh negatif terhadap lingkungan tidak ada  (Darmono, 1994).
Pemanfaatan mikroorganisme sebagai agens pengendalian nampaknya masih perlu dikembangkan. Pengembangan penggunaan mikroorganisme tersebut perlu dilandasi pengetahuan jenis-jenis mikroorganisme, jenis-jenis penyakit dan juga mekanisme pengendalian penyakit tanaman dengan menggunakan mikroorganisme. Pemanfaatan ini diharapkan dapat membantu pengendalian penyakit tanpa mengganggu kondisi lingkungan.
Trichoderma sp. dapat dijadikan sebagai agensi pengendalian patogen terutama yang tergolong asal tanah (Rosmini 2003). mengemukakan bahwa Trichoderma sp. merupakan agensi pengendalian hayati yang menjanjikan bagi petani untuk mendapatkan teknologi pengendalian yang murah untuk jangkah panjang tidak merusak lingkungan hidup dan tidak menyebabkan residu pada hasil tanaman.

Pengendalian hayati dengan menggunakan agens hayati seperti  Trichoderma sp. yang terseleksi ini sangatlah diharapkan dapat mengurangi ketergantungan dan mengatasi dampak negatif dari pemakaian pestisida sintetik yang selama ini masih dipakai untuk pengendalian penyakit tanaman di Indonesia (Rosmini, 2003).

Bahan organik dapat pula digunakan sebagai medium pertumbuhan cendawan antagonis dalam menekan patogen tular tanah. Hasil penelitain Djatmiko dan Rohadi (1997) mendapatkan bahwa hasil perbanyakan Trichoderma harzianum dalam sekam padi dan bekatul mempunyai kemampuan menekan Plasmodiphora brassicae (penyakit akar gada) baik pada tanah andosol maupun latosol.


Potensi Drone Pertanian Di Indonesia

Perkembangan Drone Pertanian         Kolaborasi perusahan pertanian besar dengan inovator, perusahaan rintisan belakangan ini membuat perkem...